Ustadz Muhammad Thalib
(RM Edisi 12 Th I Ramadhan 1428/September 2007 M I Hal. 12-13)
Kemerdekaan Indonesia telah di perjuangkan oleh para pahlawan sejak ratusan tahun sebelum di cetuskannya proklamasi 17 Agustus 1945. Banyak pengorbanan rakyat dan para pemimpinnya baik harta maupun nyawa. Pengorbanan yang begitu besar tidak menyurutkan semangat dan keberanian menghadapi terror dan kekejaman penjajah Belanda, bahkan mengorbankan semangat api perjuangan.
Rakyat memang menyaksikan dengan mata kepala sendiri penderitaan dan kesengsaraan, kemelaratan dan kenestapaan di bawah cengkraman dan penjajah Belanda. Pengalaman pahit di masa lalu, mendorong rakyat bersemangat membebaskan diri dari belenggu kehidupan yang penuh kemelaratan dan kenestapaan, kemudian hal ini dijadikan modal oleh para pemimpin bangsa untuk membakar semangat rakyat berjuang dengan harta dan jiwa meraih kemerdekaan.
Memasuki awal abad 19 bermunculan tokoh-tokoh sebagai propagandis, mengorbankan semangat meraih kemerdekaan. Bahkan, Soekarno dalam berbagai pidatonya selalu menggunakan semboyan politis dan retorika manis, bahwa jembatan emas terbentang di balik kemerdekaan Indonesia. Ilusi dan mimpi rakyat yang tertindas dibangkitkan begitu rupa dengan slogan-slogan yang mempesona, bahwa di dalam Indonesia merdeka rakyat akan menemukan kehidupan gemah ripah loh jinawi, toto tenterem kertoraharjo, makmur, aman dan sentausa.
Di bawah slogan kemerdekaan, rakyat akar rumput tidak pernah bertanya kritis, dengan cara bagaimana kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyat kelak akan tercapai. Apakah setelah merdeka masih diperlukan pengorbanan rakyat, ataukah rakyat tinggal berpangku tangan dan menanti mukjizat dari langit sebagaimana dipropagandakan para pemimpin pejuang kemerdekaan? Kemudian, kemerdekaan dengan serta merta menghadiahkan kemakmuran kesentausaan, keamanan dan kedamaian secara instant seperti ceritera lampu Aladin, bim salabim.
Kemerdekaan, ke 62 tahun, yang kini tengah dirayakan, ternyata hanya menorehkan kepahitan dan kegetiran bagi mayoritas rakyat negeri ini. Kemiskinan semakin membengkak, pengangguran semakin menumpuk, pendidikan bagi rakyat kecil semakin tidak terjangkau dan jurang kekayaan dengan kemiskinan semakin menganga. Mengapa semua itu terjadi? Siapa yang harus dipersalahkan? Apa langkah yang selama ini diambil sehingga hanya menyisakan kesengsaraan dan kemelaratan yang lebih parah bagi masyarakat Indonesia. Dan kapan kondisi yang serba pedih, perih dan menyayat hati ini berakhir? Siapa gerangan yang mampu mengakhirinya, dan dengan cara apa semuanya ini dapat diakhiri?
Sudah dapat dipastikan tidak ada satu pihak pun yang mau bertanggung jawab dan mengakui secara jentelmen atas derita dan nestapa rakyat Indonesia yang telah merdeka 62 tahun berkaitan dengan salah urus negeri ini. Yang jelas selama masa 62 tahun para pemimpin Indonesia dengan semangat berapai-api telah menyingkirkan Islam dan Syari’atnya dari gelanggang pengelolaan Negara dan masyarakat. Serta membusungkan dada dengan pongah menyatakan bahwa doktrin pemisahan agama dari Negara adalah obat mujarab yang akan mengantarkan Indonesia kepada kejayaan, kemakmuran dan kesentausaan.
Tanpa malu dan tahu diri justru golongan nasionalis sekuler dan kaum sekuler yang berkedok Islam terus menerus berbohong kepada rakyat bahwa Negara-negara maju berhasil mendapatkan kemakmurannya seperti sekarang memerlukan waktu ratusan tahun sedangkan kita baru 62 tahun. Maka wajar di dalam Negara Indonesia merdeka ini rakyat harus bersabar menjadi manusia melarat. Inilah bukti bahwa kaum sekuler baik nasionalis maupun yang berkedok Islam telah mencundangi rakyat dan menjual rakyat untuk membangun mental oportunis mereka.
Mengapa hanya rakyat yang diminta bersabar menderita kemelaratan, sementara mereka menikmati fasilitas Negara dengan penuh kemewahan dan berlebihan? Disinilah, sebenarnya kunci penyebab dari kemerdekaan Indonesia membuahkan kemelaratan, karena pemimpinnya adalah manusia bermoral bejat, bermental serakah dan berjiwa oportunis mengejar kesenangan nafsu. Selama pemimpin Indonesia bermental semacam ini, maka tidak ada harapan mayoritas rakyat dapat dientaskan dari kemelaratannya. Hal ini sesuai dengan firman Alloh ‘Azza wa jalla :
16. dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya Berlaku terhadapnya Perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.
Maka jalan keluar yang harus menjadi pilihan bagi rakyat Indonesia adalah membersihkan Negara dan pemerintahan dari kaum oportunis, penjual rakyat, penjilat kaki tangan kepentingan asing. Untuk diganti dengan orang-orang yang memiliki jiwa taqwa kepada Alloh, cinta kepada rakyat, hidup menjauhi kemewahan dan mengajak rakyat untuk menegakan hokum Alloh di muka bumi. Inilah satu-satunya jalan untuk membebaskan rakyat Indonesia dari ketatnya pakaian, kelaparan, serta himpitan hidup sengsara.
96. Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
Sebagai upaya konstruktif memperbaiki kepemimpinan Indonesia, agar mendapatkan figur-figur yang bertanggung jawab baik kepada Alloh maupun kepada rakyat, telah tersedia jalan damai bagi rakyat Indonesia. Bahkan mahkamah konstitusi menetapkan, rakyat boleh memilih pemimpinnya dari kalangan independen. Dalam kaitan ini para pemimpin gerakan Islam di Indonesia selayaknya tampil untuk berkiprah mengetaskan rakyat Indonesia dari kemelaratan dan kenestapaan yang telah menggelayuti negeri ini 400 tahun lebih, sejak datangnya penjajah Belanda hingga kini.
2 komentar:
Bagus lah
lumayan lah..........
Posting Komentar